Kalau
biasanya kalian baca soal saya menggila-gila soal drama Korea entah itu di blog
ini, Twitter atau Path saya, hari ini saya menggila soal sesuatu yang berbeda.
Kali ini saya mau cerita soal film Indonesia.
Sejujurnya,
saya adalah tipe orang yang cukup skeptikal kalau masalah film Indonesia. Di
satu sisi, ada keinginan untuk mengapresiasi para pegiat film di Indonesia.
Tetapi di sisi lain ada kekhawatiran kalau saya akan merasa kecewa, dan sorry to say, merasa rugi sudah buang
waktu dan uang untuk menontonnya.
Karena
itu, saat kemarin memutuskan film “Cek Toko Sebelah”, saya pun memutuskan untuk
tidak berekspektasi terlalu tinggi. Saya sudah membaca beberapa pendapat dari teman-teman yang memang
sudah nonton dan mengakui kalau film ini memang bagus dan relatable. Tapi saya pun tetap masih skeptis. Apa iya film-nya bisa
memenuhi ekspektasi saya?
Salah
satu yang membuat saya memutuskan untuk nonton sebenarnya lebih karena mau
menemani teman saya yang memang sudah mengincar film ini. Sedangkan saya bahkan
tidak pernah menonton trailer-nya dan
tidak pernah baca sinopsisnya. Sekilas ceritanya hanya tahu dari teman yang
satu ini.
Saat
kami datang ke bioskop, saya sempat kaget karena jam yang ingin kami tonton full house! Wah, saya benar-benar nggak
pernah nyangka kalau studio yang isinya film Indonesia bisa sampai penuh gitu.
Saya lihat hanya tersisa sekitar 6 kursi, itu pun 4 di paling depan dan 2 di
paling belakang. Karena kami datang bertiga jadilah kami menonton di jam
selanjutnya yang merupakan show terakhir
di malam itu.
Setelah
mendapatkan tiket untuk pukul 21.30 itu, saya pun masih terbingung-bingung. “Kok
bisa ya, film Indonesia studionya sampai full
begitu?” Mohon maaf, seperti yang saya bilang memang selama ini saya
skepetikal mengenai film Indonesia.
Teman
saya lalu bercerita kalau di minggu-minggu awal memang film Indonesia biasanya
ramai, apalagi kalau memang film yang bagus dan berkualitas. Dia juga bercerita
kalau sekarang semakin banyak film Indonesia yang bagus dan ramai ditonton.
Baru saya manggut-manggut mengerti. Setelah saya cek, memang film “Cek Toko
Sebelah” ini baru tayang tanggal 28 Desember lalu.
Kalau
reaksi saya sebelum menonton film seperti di atas. Coba tebak seperti apa
reaksi saya seusai menonton film?
Saya
bersyukur. Bersyukur banget saya menemani teman saya untuk menonton film ini.
Saya bersyukur banget karena film ini ternyata sangat di luar ekspektasi saya.
Sebelumnya
saat menonton film Indonesia, saya selalu keluar dari bioskop dengan perasaan “Ya,
lumayanlah ya,” atau “Okelah, not bad untuk
film Indonesia.”
Kemarin
itu, saya keluar dari bioskop dengan perasaan yang berbeda. Untuk pertama
kalinya, ada film Indonesia yang membuat saya merasa terpuaskan seusai
menontonnya. Untuk pertama kalinya, saya menonton sebuah film Indonesia yang
memang bagus, tanpa perlu saya justifikasi atau mengurangi ekspektasi. Untuk
pertama kali, saya ingin menulis tentang sebuah film Indonesia panjang lebar di
blogpost murni karena saya sangat
suka film ini bukan hanya karena review semata.
Oke, mungkin saya bukan orang paling ahli di dunia perfilman atau semacamnya. Tapi dari kacamata orang awam seperti saya, film “Cek Toko Sebelah” ini adalah film yang luar biasa.
Sejujurnya,
film-nya sederhana. Konflik yang diangkat pun, tidak bertele-tele. Nggak ada
yang namanya penerus harta kekayaan perusahaan yang sikut-sikutan sampai tante,
om, keponakan, sepupu ala drama Korea. Nggak ada juga makhluk fantasi semacam
vampir, werewolf, dan semacamnya.
Tapi
justru kesederhanaan itulah yang membuat “Cek Toko Sebelah” ini jadi
menyenangkan untuk ditonton. Apa yang terjadi pada karakter di film tersebut
adalah sesuatu yang mungkin kita rasakan juga sebagai penonton.
Film ini
juga meng-highlight berbagai hubungan
mulai dari orang tua dan anak, kakak dan adik, suami dan istri, bos dan karyawan
bahkan sampai persaingan antar toko. Saya senang karena dengan karakter yang
ada, walaupun tidak dalam, mereka bisa menunjukkan dinamika hubungan manusia.
Film ini
kalau dari sudut pandang saya insightful sekali.
Mungkin karena konfliknya dekat dengan kehidupan yang saya jalani sekarang,
saya jadi bisa relate dengan
ceritanya. Sambil menonton saya seringkali membayangkan, “Wah, gimana ya kalau
saya yang ada di posisi dia?” atau “Wah, saya ngerti banget perasaan si itu”
Untuk
humornya sendiri, karena sebelumnya nggak pernah nonton stand up comedy-nya Ernest, saya nggak bisa membandingkan. Tetapi
di film ini sendiri, humor yang disajikan cukup oke. Ada sih beberapa bagian
yang ketebak. Ada juga yang jokes-nya
receh ataupun jayus. Tetapi yang memang humornya lucu dan bikin ngakak juga
nggak kalah banyak.
Alur
ceritanya pun dibawa dengan asyik. Tidak terlalu cepat tapi juga tidak lambat,
jadi saat menonton pun saya tidak menyangka kalau 2 jam sudah berlalu saja.
Emosi penonton juga pelan-pelan dibawa, dari senang, sedih, senang, sedih lagi,
senang lagi, walupun nggak yang sampai kayak roller-coaster gitu. Tapi they
manage to capture the certain emotion on the right rime.
Selain
dari segi cerita, saya juga sangat suka sisi visualnya. Eh sebentar, mungkin
bukan visual ya, apa ya istilah tepatnya. Itu loh, pakaian yang dipakai
karakternya, gadget-nya, bahkan
sampai mobilnya. Lebih tepatnya mungkin penggambaran karakter ya. Mobilnya itu
persis seperti model mobil Papa dulu, cuma beda warna saja. Model bajunya juga
khas etnis Tionghoa paruh baya yang pakai kaus berkerah, celana panjang, tas
pinggang dan kacamata plus.
Dari
para pemainnya sendiri, akting mereka patut diacungi jempol. Terutama akting
Koh Afuk yang jadi sang ayah di sini. Yang mana setelah saya googling, ternya aktornya -- Chew Kinwah
-- adalah aktor Malaysia. Oke, this is a
bit shocking karena pas di film, Koh Afuk ini nggak berasa Malaysia sama
sekali. Rasanya ya kayak orang Indonesia yang logatnya totok. Oh ya, bonus point kalau kamu mengerti bahasa
Hokkien atau semacamnya karena kamu jadi paham umpatan yang dicetuskan si Koh Afuk
kalau sebel sama pegawainya, haha.
Saya
sendiri sejujurnya dulu nggak terlalu suka dengan aktingnya Dion Wiyoko. Tapi
di film ini, menurut saya dia bisa memerankan karakter si anak sulung dengan
baik. Gisel juga nggak kalah menawan. Sejauh yang saya tahu dia seorang
penyanyi. Saya belum pernah lihat dia akting sebelumnya dan ternyata she can pull it off pretty well.
Oke,
sebelum saya bercerita semakin panjang, semakin lebar dan malah berujung spoiler, saya akhiri cerita saya sampai
di sini. Ketimbang review, ini lebih
cocok disebut appreciation post. Apresiasi
terbesar saya tentunya mau saya berikan untuk Ernest Prakasa yang nggak hanya bermain
sebagai pemeran utama tetapi juga sebagai penulis dan sutradara.
Saya
memang belum pernah menonton karya Ernest atau stand up comedy dia sebelumnya. Tapi film ini bikin saya jadi respect dengan dia. Ernest bisa mengemas sesuatu yang sederhana
menjadi tontonan yang asyik, menyenangkan dan memuaskan.
Terima
kasih “Cek Toko Sebelah”, kamu membuat saya jatuh cinta pada film Indonesia.
P.s.
Saya nggak dibayar atau disuruh siapapun untuk sharing soal film ini. Saya memang kepingin saja karena menurut
saya film-nya memang that good. Jadi
nggak perlu tanya lagi, film ini saya rekomendasikan banget!
No comments:
Post a Comment